Arti Syariat
Syari’at bisa disebut syir’ah.
Artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia
atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang
ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah.
Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.
Kata
“syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a”
berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman,
“Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat
sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.”
[QS. Al-Maidah (5): 48]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas
suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah
syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak
mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].
“Allah telah mensyari’atkan
(mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan
kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].
Sedangkan arti syari’at
menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami
‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh
zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil
mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt.
melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar
dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang
lurus.
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi
frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini
berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani
sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un
akaana bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au fi’lin au
taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam adalah hukum-hukum
peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat manusia
melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang
berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Terkadang
syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi,
maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul
‘aammi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan
khusus).
Pembagian Syari’at Islam
Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan
dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan
harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang
berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya,
iman kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
dan iman kepada hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa,
serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga
Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
2. Ilmu Akhlak, yaitu
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan
jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan
keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat
benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan
berkhianat.
3. Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya.
Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan
tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak
sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah
misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian
yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan
sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).
Definisi Fiqh Islam
Fiqh
menurut bahasa adalah tahu atau paham sesuatu. Hal ini seperti yang
bermaktub dalam surat An-Nisa (4) ayat 78, “Maka mengapa orang-orang itu
(munafikin) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (pelajaran dan
nasihat yang diberikan).”
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah akan memahamkannya di dalam perkara agama.”
Kata
Faqiih adalah sebutan untuk seseorang yang mengetahui hukum-hukum
syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, hukum-hukum
tersebut diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.
Fiqh Islam
menurut istilah adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Allah atas
perbuatan orang-orang mukallaf, hukum itu wajib atau haram dan
sebagainya. Tujuannya supaya dapat dibedakan antara wajib, haram, atau
boleh dikerjakan.
Ilmu Fiqh adalah diambil dengan jalan ijtihad.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menulis, Fiqh adalah pengetahuan
tentang hukum-hukum Allah, di dalam perbuatan-perbuatan orang mukallaf
(yang dibebani hukum) seperti wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah.
Hukum-hukum itu diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah serta dari
sumber-sumber dalil lain yang ditetapkan Allah swt. Apabila hukum-hukum
tersebut dikeluarkan dari dali-dalil tersebut, maka disebut Fiqh.
Para
ulama salaf (terdahulu) dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil
di atas hasilnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini adalah suatu
keharusan. Sebab, pada umumnya dalil-dalil adalah dari nash (teks dasar)
berbahasa Arab yang lafazh-lafazhnya (kata-katanya) menunjukkan kepada
arti yang diperselisihkan di antara mereka.
Fiqh Islam terbagi menjadi enam bagian:
1. Bagian Ibadah, yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang
dipakai untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan untuk mengagungkan
kebesaran-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.
2. Bagian
Ahwal Syakhshiyah (al-ahwaalu asy-syakhsyiyyatu), yaitu suatu bagian
yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan pembentukan dan
pengaturan keluarga dan segala akibat-akibatnya, seperti perkawinan,
mahar, nafkah, perceraian (talak-rujuk), iddah, hadhanah (pemeliharaan
anak), radha’ah (menyusui), warisan, dan lain-lain. Oleh kebanyakan para
mujtahidin, bagian kedua ini dimasukkan ke dalam bagian mu’amalah.
3. Bagian Mu’amalah (hukum perdata), yaitu suatu bagian yang
membicarakan hukum-hukum yang mengatur harta benda hak milik, akad
(kontrak atau perjanjian), kerjasama sesama orang seperti jual-beli,
sewa menyewa (ijarah), gadai (rahan), perkonsian (syirkah), dan
lain-lain yang mengatur urusan harga benda seseorang, kelompok, dan
segala sangkut-pautnya seperti hak dan kekuasaan.
4. Bagian Hudud
dan Ta’zir (hukum pidana), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum
yang berhubungan dengan kejahatan, pelanggaran, dan akibat-akibat
hukumnya.
5. Bagian Murafa’at (hukum acara), yaitu bagian yang
membicarakan hukum-hukum yang mengatur cara mengajukan perkara,
perselisihan, penuntutan, dan cara-cara penetapkan suatu tuntutan yang
dapat diterima, dan cara-cara yang dapat melindungi hak-hak seseorang.
6. Bagian Sirra wa Maghazi (hukum perang), yaitu bagian yang
membicarakan hukum-hukum yang mengatur peperangan antar bangsa, mengatur
perdamaian, piagam perjanjian, dokumen-dokumen dan hubungan-hubungan
umat Islam dengan umat bukan Islam.
Jadi, Fiqh Islam adalah
konsepsi-konsepsi yang diperlukan oleh umat Islam untuk mengatur
kepentingan hidup mereka dalam segala segi, memberikan dasar-dasar
terhadap tata administrasi, perdagangan, politik, dan peradaban.
Artinya, Islam memang bukan hanya akidah keagamaan semata-mata, tapi
akidah dan syariat, agama dan negara, yang berlaku sepanjang masa dan
sembarang tempat.
Dalam Al-Qur’an ada 140 ayat yang secara khusus
memuat hukum-hukum tentang ibadah, 70 ayat tentang ahwal syakhshiyah, 70
ayat tentang muamalah, 30 ayat tentang uqubah (hukuman), dan 20 ayat
tentang murafa’at. Juga ada ayat-ayat yang membahas hubungan politik
antara negara Islam dengan yang bukan Islam. Selain Al-Qur’an, keenam
tema hukum tersebut di atas juga diterangkan lewat hadits-hadits Nabi.
Sebagian hadits menguatkan peraturan-peraturan yang ada dalam ayat-ayat
Al-Qur’an, sebagian ada yang memerinci karena Al-Qur’an hanya
menyebutkan secara global, dan sebagian lagi menyebutkan suatu hukum
yang tidak disebutkan dala mAl-Qur’an. Maka, fungsi hadits adalah
sebagai keterangan dan penjelasan terhadap nash-nash (teks) Al-Qur’an
yang dapat memenuhi kebutuhan (kepastian hukun) kaum muslimin.
Hukum Syara’
Hukum
syara’ adalah “maa tsabata bi khithaabillahil muwajjahi ilaal ‘ibaadi
‘alaa sabiilith thalabi awit takhyiiri awil wadh’i”. Maksudnya, sesuatu
yang telah ditetapkan oleh titah Allah yang ditujukan kepada manusia,
yang penetapannya dengan cara tuntutan (thalab), bukan pilihan
(takhyir), atau wadha’.
Contoh hukum syara’, perintah langsung
Allah swt., “Tegakkahlah shalat dan berikanlah zakat!” [QS. Al-Muzzamil
(73): 20]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan berbuat, dengan cara
tuntutan keharusan yang menunjukkan hukum wajib melakukan shalat dan
zakat.
Firman Allah swt., “Dan janganlah kamu mendekati zina!”
[QS. Al-Isra' (17): 32]. Ayat ini menetapkan suatu tuntutan
meninggalkan, dengan cara keharusan yang menunjukkan hukum haram berbuat
zina.
Firman Allah swt., “Dan apabila kamu telah bertahallul
(bercukur), maka berburulah.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. Ayat ini
menunjukkan suatu hukum syara’ boleh berburu sesudah tahallul (lepas
dari ihram dalam haji). Orang mukallaf boleh memilih antara berbuat
berburu atau tidak.
Yang dimaksud dengan wadha’ adalah sesuatu
yang diletakkan menjadi sebab atau menjadi syarat, atau menjadi pencegah
terhadap yang lain. Misalnya, perintah Allah swt. “Pencuri lelaki dan
wanita, potonglah tangan keduanya.” [QS. Al-Maidah (5): 38]. Ayat ini
menunjukkan bahwa pencurian adalah dijadikan sebab terhadap hukum potong
tangan.
Bersabda Rasulullah saw., “Allah swt. tidak menerima
shalat yang tidak dengan bersuci.” Hadits ini menunjukkan bahwa bersuci
adalah dijadikan syarat untuk shalat.
Contoh yang lain, sabda
Rasulullah saw., “Pembunuh tidak bisa mewarisi sesuatu.” Hadits ini
menunjukkan bahwa pembunuhan adalah pencegah seorang pembunuh mewarisi
harta benda si terbunuh.
Dari keterangan-keterangan di atas, kita paham bahwa hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum
taklifi adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau
tuntutan untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan
meninggalkan.
Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk
berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka!” [QS. At-Taubah
(9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS.
Al-Imran (3): 97].
Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk
meninggalkan: “Janganlah di antara kamu mengolok-olok kaum yang lain.”
[QS. Al-Hujurat (49): 11], “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah,
dan daging babi.” [QS. Al-Maidah (5): 3].
Contoh hukum yang
menunjukkan boleh pilih (mudah): “Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], “Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar shalat.” [QS. An-Nisa' (4): 101].
Hukum wadh’i adalah yang menunjukkan bahwa sesutu telah dijadikan sebab, syarat, dan mani’ (pencegah) untuk suatu perkara.
Contoh
sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS.
Al-Maidah (5): 6]. Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan
sebab diwajibkannya wudhu.
Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup
mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97]. Kemampuan
adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.
Contoh mani’ (pencegah):
Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga
orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai
ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini
menunjukkan bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum
dan menjadi pencegah terhadap perbuatan yang sah.
Hukum taklifi
terbagi menjadi dua, yaitu azimah dan rukhshah. Azimah adalah suatu
hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur.
Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir. Sedangkan
rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu
halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir.
Azimah meliputi berbagai macam hukum, yaitu:
1.
Wajib. Suatu perbuatan yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.)
dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukum perbuatan ini harus dikerjakan.
Bagi yang mengerjakan mendapat pahala dan bagi yang meninggalkan
mendapat siksa. Contohnya, puasa Ramadhan adalah wajib. Sebab, nash yang
dipakai untuk menuntut perbuatan ini adalah menunjukkan keharusan. “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” [QS.
Al-Baqarah (2): 183]
2. Haram. Haram adalah sesutu yang telah
dituntut oleh syara’ (Allah swt.) untuk ditinggalkan dengan bentuk
tuntutan keharusan. Hukumnya bila dikerjakan adalah batal dan yang
mengerjakannya mendapat siksa. Contohnya, tuntutan meninggalkan berzina,
tuntutan meninggalkan makan bangkai, darah, dan daging babi.
3.
Mandub (sunnah). Mandub adalah mengutamakan untuk dikerjakan daripada
ditinggalkan, tanpa ada keharusan. Yang mengerjakannya mendapat pahala,
yang meninggalkannya tidak mendapat siksa, sekalipun ada celaan. Mandub
biasa disebut sunnah, baik sunnah muakkadah (yang dikuatkan) atau ghairu
(tidak) muakkadah (mustahab).
4. Makruh. Makruh adalah
mengutamakan ditinggalkan daripada dikerjakan, dengan tidak ada unsur
keharusan. Misalnya, terlarang shalat di tengah jalan. Yang
melaksanakannya tidak mendapat dosa sekalipun terkadang mendapat celaan.
5.
Mubah. Mubah adalah si mukallaf dibolehkan memilih (oleh Allah swt.)
antara mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, dalam arti salah satu
tidak ada yang diutamakan. Misalnya, firman Allah swt. “Dan makan dan
minumlah kamu sekalian.” Tegasnya, tidak ada pahala, tidak ada siksa,
dan tidak ada celaan atas berbuat atau meninggalkan perbuatan yang
dimubahkan.
Apabila Allah swt. menuntut kepada seorang mukallaf
untuk melakukan sesuatu perbuatan lalu perbuatan tersebut dikerjakannya
sesuai dengan yang dituntut darinya dengan terpenuhi syarat rukunnya,
maka perbuatan tersebut disebut shahih. Tetapi apabila salah satu syarat
atau rukunnya rusak, maka perbuatan tersebut disebut ghairush shahiih.
Ash-shahiih
adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mempunyai urutan akibatnya.
Contohnya, bisa seorang mukallaf mengerjakan shalat dengan sempurna,
terpenuhi syarat rukunnya, maka baginya telah gugur kewajiban dan
tanggungannya.
Ghairush-shahiih adalah sesuatu yang dilakukannya
tidak mempunya urutan akibat-akibat syara’. Contohnya, seorang mukallaf
mengerjakan shalat tidak terpenuhi syarat rukunnya, seperti shalat tanpa
rukuk. Kewajiban mukallaf mengerjakan shalat tersebut belum gugur.
Demikian pula kalau shalat dikerjakan tidak pada waktunya atau
mengerjakannya tanpa wudhu. Perbuatan-perbuatan yang dikerjakan tidak
sesuai dengan tuntutan Allah swt. dianggap tidak ada atau tidak
mengerjakan apa-apa.
0 Komentar Sahabat:
Post a Comment
Jadilah yang pertama...